Tradisi Aneh Dan Mengerikan Dari Suku Naulu Maluku
Dari sekian banyak tradisi masyarakat adat di
Maluku, ternyata ada tradisi masyarakat adat yang terbilang paling aneh dan
mengerikan. Suku Naulu yang hidup di Petuanan Negeri sepa, merupakan salah satu
suku terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2
dari Pusat kota. Suku terasing di pedalaman Pulau Seram ini memiliki tradisi
yang unik. Yang satunya terpaksa dilarang karena terbilang cukup sadis, satunya
lagi masih terus terjaga. Dua tradisi itu adalah tradisi memenggal kepala manusia
untuk persembahan kepada rumah adat dan tradisi pengasingan perempuan hamil dan
gadis yang memasuki datang bulan di gubuk kecil.
Persembahan Kepala Manusia
Tradisi memenggal kepala manusia oleh Suku Naulu
sudah tidak ditemukan lagi, setelah dilarang pasca kejadian pembunuhan bermotif
persembahan kepada rumah adat suku tersebut bulan Juli tahun 2005 silam. Sedangkan
tradisi pengasingan perempuan hamil, hingga kini masih terus dilakukan, namun
perlahan juga mulai hilang.
Tradisi adat memotong kepala manusia buat
persembahan, oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang
mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia,
karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa
mendatangkan bala atau musibah. Suku ini sebagian kaum prianya masih
menggunakan ikat kepala berwarna merah sebagai ciri khasnya. Agama yang dianut
adalah aliran kepercayaan, sebagaimana agama para leluhurnya.
Kehidupan masyarakatnya yang suka berburu dan berladang untuk makan itu, membuat sebagain dari suku ini masih hidup mengembara atau tidak menetap dalam satu perkampungan besar.
mereka tersebar pada lima lokasi di Pulau Seram dengan dusun masing-masing Nuane, Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, dan Rohua.
Meski memiliki tradisi yang cukup sadis yakni
memenggal kepala manusia untuk persembahan, namun tidak banyak masyarakat di
Pulau Seram yang mengetahui tradisi tersebut.
Tradisi ini baru tercium khalayak ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 lalu. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi Suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Tradisi ini baru tercium khalayak ramai setelah terjadinya kejadian tahun 2005 lalu. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi Suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain
kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara
anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh
dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane.
Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe.
Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe.
Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah
melakukan pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo
pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke,
mengatakan tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuannya
akan hukum formal yang berlaku di Indonesia.
Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral.
Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral.
“Warga saya tidak tahu kalau membunuh itu hukumannya apa,” terang Sahune kala itu.
Peristiwa pengambilan kepala manusia ini bukan
baru pertama kali terjadi. Sebelumnya pada tahun 1990-an, tiga warga Naulu dari
komunitas Nuane dihukum 17 tahun penjara karena melakukan hal yang sama. Saat
itu korbannya dua orang yang tengah berburu di hutan dibunuh dan diambil
kepalanya untuk ritual adat seperti yang terjadi pada Juli 2005 lalu.
Tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman dulu, saat sering terjadi perang antar suku di pedalaman Pulau Seram. Dalam kondisi seperti itu siapa yang kuat dialah yang menang. Bahkan dalam tradisi dulu, seorang raja yang ingin mengangkat seorang menantu laki-laki, syarat yang ditetepkan harus heroik. Calon menantu harus menunjukan kejantanannya dengan mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin.
Perkampungan Nuane yang didiami 525 keluarga atau
sekitar 900 jiwa itu, hingga kini belum tersentuh pembangunan yang memadai.
Padahal tidak jauh dari perkampungan tersebut atau sekitar dua kilometer
terdapat pemukiman transmigrasi lokal yang baru ada belasan tahun silam.
Pengasingan Perempuan Hamil
Jauh dari dunia pendidikan dipadu dengan kentalnya aturan adat yang memikat, ternyata makin lengkap dan menambah panjang kehidupan yang serba gelap bagi suku terasing Naulu. Leluhur dari suku ini bukan saja mewariskan tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan.
Tradisi lainnya juga mengasingkan kaum hawa, yang telah hamil dan mendekat waktu melahirkan momongan.
Biasanya di setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk pamali atau dalam bahasa suku ini disebut tikusune.
Gubuk-gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman bagi kaum wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan.
Gubuk pamali sebagai tempat mengasingkan diri
sementara itu berukuran 2×2 meter berdinding dan beratap daun sagu dilengkapi
sebuah tempat tidur yang disebut tapalang berukuran 1×2 meter.
Suku adat Naulu maupun suku terasing lainnya seperti Hoaulu dan Yalahatan di Pulau Seram, tikusune yang dibangun tidak boleh ditengok atau dimasuki kaum pria saat kaum wanita menjalani masa datang bulan maupun melahirkan.
Suku adat Naulu maupun suku terasing lainnya seperti Hoaulu dan Yalahatan di Pulau Seram, tikusune yang dibangun tidak boleh ditengok atau dimasuki kaum pria saat kaum wanita menjalani masa datang bulan maupun melahirkan.
“Mereka hanya bisa ditengok oleh kaum hawa untuk memberikan makanan dan keperluan lainnya maupun pelayanan saat melahirkan oleh dukun beranak,” kata tua adat setempat Touisa Matoke.
Kaum wanita yang mulai merasa tanda-tanda
datangnya haid harus segera meninggalkan rumahnya untuk memasuki gubuk pamali
yang telah disiapkan dan tinggal di gubuk tersebut hingga masa haidnya selesai
baru diperkenankan kembali ke rumah.
Di perkampungan suku Naulu yang telah dibina Depsos maupun pihak yayasan di Seram bagian selatan terutama di pemukiman Rohua, Bonara dan Simaoluw, tradisi mengasingkan diri di gubuk pamali ini masih tetap dipertahankan.
Di perkampungan suku Naulu yang telah dibina Depsos maupun pihak yayasan di Seram bagian selatan terutama di pemukiman Rohua, Bonara dan Simaoluw, tradisi mengasingkan diri di gubuk pamali ini masih tetap dipertahankan.
Khusus bagi kaum wanita yang hendak melahirkan
biasanya diantar keluarga ke gubuk Pamali tersebut, kemudian saat persalinan
ditolong dukun beranak, sedangkan pusar bayi dipotong dengan sembilu (kulit
bambu yang cukup tajam). Anehnya, penggunaan sembilu yang beresiko itu dapat
diatasi oleh dukun beranak. Perawatan sang ibu yang baru melahirkan termasuk
pengobatan pusar bayi umumnya dilakukan dengan menggunakan bahan ramuan
tradisional.
Usai masa melahirkan dan perawatan di gubuk pamali, sekitar dua minggu sang ibu bersama anaknya sudah bisa keluar gubuk untuk mandi di kali, sedangkan pihak keluarga dan sang dukun (biang) harus berpuasa selama sehari sebelum menerima sang istri dan buah hati saat kembali pulang ke rumah.
Saat kembali ke rumah mereka diterima secara adat dalam suasana sukacita dengan sajian makanan yang disiapkan dari pihak keluarga perempuan untuk disantap bersama warga suku setempat. Beberapa hari kemudian pihak keluarga lelaki juga melakukan hal serupa sebagai jamuan balasan kepada pihak keluarga perempuan bersama masyarakat setempat untuk dinikmati bersama sebagai ungkapan syukur.
Sejauh ini tidak ada yang melanggar tradisi adat
tersebut. Sanksi bagi pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat adat
setempat dan juga dikenakan denda berupa pembayaran piring tua dan kain berang
(merah) bagi kaum perempuan. Kepatuhan masyarakat terasing Naulu, Hoaulu,
Yalahatan serta kelompok masyarakat terasing lainnya di pulau Seram kepada adat
yang diwariskan tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat dan budaya suku
Alifuru yang mendiami pulau Seram.
Kelompok suku Rohua dan Bonara berdasarkan kisah
tua adat setempat awalnya berasal dari pedalaman pulau Seram, sekitar hulu
sungai Sapalewa (Sekarang Seram Bagian Barat) salah satu sungai terbesar di
pulau Seram.
Gara-gara pemimpin adat dari suku ini beristri dua, sang istri pertama dan anak cucunya memilih mengungsi ke perkampungan baru, selanjutnya turun ke desa Rohua dan Bonara di wilayah Seram bagian selatan, sekitar 35 kilometer dari kota Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar