Sabtu, 13 September 2014

HINDU

Hindu

HINDUISME

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Hindu)

Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan—terutama di India dan Nepal—yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran—di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta—serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.[1]
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini,[a] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya "darma abadi" atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.

Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).[14]
Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa,[15] agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di dunia, setelah Kristen dan Islam.

Etimologi

Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku bangsa di suatu daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk 'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen, sehingga mencakup berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme' ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.
Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.[16]
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya subbenua India, yang dalam bahasa Inggris disebut Indus.[16][c] Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindu.[16] Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Europa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar sungai Sindu.[19] Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[20]
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, kr. 1450) dan beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.

Definisi

Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi "Hinduisme"—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang agama tersebut.[22][23] Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli Hindu,[22] dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.[24] Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas, maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan religius.[25]

Pengaruh kolonial

Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada "kasta-kasta brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.[28] Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).[23]
Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan "brahmanisasi" dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang Eropa. Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis daripada otoritas lisan. Kaum brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama tentang "suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni".[22]

Pendapat orang Hindu

Menurut Sarvepalli Radhakrishnan, "Hinduisme tidak sekadar keyakinan. Ia adalah gabungan antara penalaran dan intuisi yang tak dapat didefinisikan, namun hanya bisa dirasakan."[29]
Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang abadi".[11] Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda dengan swadarma, artinya "darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti dan tingkatan kehidupan.[31] Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan oleh Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.[12]
Menurut Encyclopædia Britannica:
Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis, dan nasionalis Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu. Maka dari itu, Sanatana-dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang "abadi", yang kemudian dipahami bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak berubah-ubah, namun juga tak terbagi-bagi dan pada pokoknya bukanlah sektarian.[d][31]
Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi.[32] Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat.[33] Intisari dalam filsafatnya adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat ilahi bawaan" tersebut, dan dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial.[34] Menurut Flood, pandangan Vivekananda terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa kini.[35]
Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut dengan filsafat Barat dan India.[36] Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada hakikatnya rasional dan humanistis.[37][e] Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.[37]

Pendapat orang Barat

Monier-Williams (1819–1899), Profesor Sastra Sanskerta dan Indolog terawal, berpendapat bahwa "berawal dari Weda, Hinduisme telah merangkul berbagai bentuk kepercayaan, dan menyajikan fase yang cocok bagi berbagai pikiran. Paham tersebut begitu toleran, rendah hati, komprehensif, dan menerima [berbagai bentuk tradisi]."[f]
Toleransi agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman tradisional orang Barat.[41] Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat dipandang sebagai suatu kategori dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu lembaga yang tegar dan terdefinisikan dengan baik. Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama tersebut, sementara yang tak lazim pun masih dapat dimasukkan ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, Ferro-Luzzi menulis suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk mendefinisikan Hinduisme.[42]
Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan mendirikan Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa ajaran yang menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai akibatnya menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu bermula.[43] Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui batas-batas nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang berdampingan dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat.[44] Agama ini menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta "transformasi spiritual umat manusia."[44] Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-enkulturasi" atau efek Pizza, yaitu suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai akibatnya juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di India.[45]

Karakteristik

Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka memang demikian berbeda.[46] Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal atau pun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).

Akar Hinduisme

Seorang wanita melakukan puja saat matahari terbenam di Rishikesh, Haridwar.
Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah 'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah berpangkal sejak purbakala.[47] Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51][49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa di India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan kr. 300 M,[48] pada permulaan periode "Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan: pengadaan pemukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung persamaan konseptual.[68]
Penggolongan Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab di masa lalu—yang digolongkan sebagai "enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme), dan Smarta (Smartisme).[89]

Enam tipe umum

Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun enam tipe tersebut sebagai berikut:[90]

Religi dan religiositas Hindu

Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.[77]
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra).[91] Menurut Michaels, tiga bentuk agama Hindu yakni:
  1. Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu agama politeistis, ritualistis, dan kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar serta upacara pengorbanan, dan merujuk kepada kitab-kitab Weda sebagai keabsahannya.[77] Agama ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah tentang agama Hindu karena memenuhi banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta karena agama ini merupakan yang dominan di berbagai wilayah India, sebab masyarakat non-brahmana pun mencoba untuk mengasimilasinya.[77]
  2. Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadangkala animistis, dengan tradisi lisan yang luas. Kadangkala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-Sanskritis.[92]
  3. Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari keselamatan (salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan seringkali anti-Brahmanis.[77] Agama ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:
Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:
  1. Ritualisme: terutama mengacu pada ritualisme Weda-Brahmanistis (Vedic-Brahmanistic ritualism) yang domestik dan butuh kurban, namun dapat juga meliputi beberapa bentuk Tantrisme.[91] Ini merupakan karma-marga klasik.[93]
  2. Spiritualisme: kesalehan intelektual, bertujuan untuk mencari kebebasan (moksa) bagi individu, biasanya dengan bimbingan seorang guru. Ini merupakan karakteristik Adwaita Wedanta, Saiwa Kashmir, Saiwa Siddhanta, Neo-Wedanta, Guruisme esoterik masa kini, dan beberapa macam Tantrisme.[91] Ini merupakan jnana-marga klasik.[93]
  3. Devosionalisme: pemujaan kepada Tuhan, seperti yang ditekankan dalam tradisi bhakti dan Kresnaisme.[91] Ini merupakan bhakti-marga klasik.[93]
  4. Heroisme: bentuk religiositas politeistis yang berpangkal dari tradisi militeristis, seperti Ramaisme dan sebagian dari Hinduisme politis.[91] Ini juga disebut wirya-marga.[93]

Mazhab, aliran, dan gerakan

Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, rukun iman, atau syahadat.[112] Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu yang tidak mau mengakui dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu.[112] Pada umumnya, aliran dibedakan berdasarkan pada dewa yang dipuja sebagai manifestasi Yang Mahakuasa, serta pada tradisi mengenai cara pemujaan dewa tersebut.
Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta.[113] Umat Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Saiwa memuja Siwa sebagai manifestasi Yang Mahakuasa; umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan sebagai wanita ilahi; sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam (Shanmata) dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya seperti Ganapatya (pemujaan terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang menyebar secara luas.
Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme, contohnya Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula gerakan keagamaan Hindu yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang disebutkan di atas, contohnya Arya Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati. Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus kepada Weda dan yadnya (yajña; ritus keagamaan berdasarkan Weda).
Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada meliputi Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata, dan lain-lain. Beberapa sekte memiliki konsep, mitologi, serta pustaka suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya. Sekte-sekte tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi Tantra.[114]

Sekte dan aliran lainnya

Tari topeng Nyetamaru Ajima, salah satu ritus keagamaan Hindu Newa di Nepal.
  • Agama Hindu Newa: agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar suku Newa di Nepal. Agama Hindu ini mengenal beberapa tradisi unik seperti tarian sakral dengan topeng yang disebut Chachaa Pyakhan. Agama Hindu ini juga mengenal sejumlah hari raya, dan ada kalanya bertepatan dengan perayaan Buddhis di sana.
  • Agama Hindu Swaminarayana: agama yang dianut oleh sebagian besar orang Hindu Gujarat.[138] Pengikut Hindu Swaminarayana memuja Wisnu atau Kresna sebagai Tuhan sehingga sering dianggap sebagai salah satu aliran dalam Waisnawa. Tetapi—tidak seperti aliran Waisnawa pada umumnya—Hindu Swaminarayana tidak membedakan Wisnu dan Siwa. Aliran ini menggunakan pemahaman sebagaimana aliran Smarta bahwa para dewa adalah manifestasi dari Brahman.[139][140]
  • Agama tradisional Punjab: kepercayaan tradisional yang dianut sebagian masyarakat Punjab. Menurut kepercayaan ini, dunia terbagi menjadi tiga alam: alam dewa, manusia, dan naga. Penganut kepercayaan ini melakukan penghormatan terhadap leluhur. Leluhur, yang menjadi moyang suatu keluarga atau pendiri suatu desa, disebut jathera. Mereka dimuliakan di kuil-kuil khusus.
  • Ayyavazhi: sistem kepercayaan monistis berdasarkan darma yang berasal dari India Selatan. Aliran ini dikatakan sebagai agama tersendiri oleh media massa dan beberapa penganutnya, tetapi banyak penganutnya yang mengaku sebagai umat Hindu, sehingga Ayyavazhi juga dianggap sebagai sekte Hindu.[141][142] Ayyavazhi berpusat pada ajaran dan khotbah Ayya Vaikundar; gagasan dan filosofi mereka berdasarkan kitab Akilattirattu Ammanai dan Arul Nool. Ayyavazhi memiliki banyak kesamaan dengan Hinduisme dalam hal mitologi dan praktik, namun memiliki perbedaan dalam konsep baik dan buruk, serta perbedaan pandangan tentang darma.
  • Ekasarana Dharma: aliran Hindu-panenteistis yang dirintis oleh Srimanta Sankardeva pada abad ke-15. Kini, banyak penganutnya yang tinggal di negara bagian Assam. Aliran ini menolak upacara dan ritus berbasis Weda, menentang pelaksanaan kurban hewan, dan hanya melakukan pemujaan dengan menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Kitab pegangan bagi aliran ini adalah Sankardewa Bhagawata. Aliran ini terbagi menjadi empat golongan: Brahma-sanghati, Purusha-sanghati, Nika-sanghati, dan Kala-sanghati.
  • Ganapatya: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Ganesa sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Ganesa dipuja sebagai bagian dari Saiwa sejak sekitar abad ke-5. Sekte Ganapatya mulai muncul sekitar abad ke-6 dan ke-9. Kemudian, sekte ini dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya mulai masyhur antara abad ke-17 dan ke-19 di Maharashtra.
  • Kapadi Sampradaya: aliran dan tradisi Hinduisme yang dianut sebagian masyarakat kesatria di Gujarat, terutama di Kutch. Pengikut tradisi ini memuja Rama sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Ramsnehi, Ashapuri, Sravani, dan Makadbantha.
  • Kaumaram: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Murugan atau Skanda di kawasan India Selatan, terutama yang didominasi oleh suku Tamil. Tradisi tersebut juga dapat ditemui di luar India, khususnya di kawasan pemukiman imigran Tamil.
  • Mahima Dharma: sekte Hinduisme yang penganutnya banyak terdapat di Orissa, India. Sekte ini diprakarsai oleh seorang guru spiritual yang dikenal dengan nama Mahima Swami atau Mahima Gosain.[143] Sekte ini memusatkan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Alekha, serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana arca, gambar, atau pun pratima.[143]
  • Ravidassia: sistem kepercayaan monoteistis berdasarkan ajaran Guru Ravidass, tokoh yang dikenal oleh umat Hindu atau pun Sikh. Umat Ravidassia meyakini bahwa Ravidass adalah guru spiritual, sedangkan umat Sikh menganggapnya sebagai bhagat (orang suci).[144] Ajaran Ravidassia merupakan cabang dari gerakan Bhakti yang muncul di India sejak abad ke-15. Ravidassia mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan yang disebut Hari, dan tujuan kehidupan adalah mencapai moksa, yaitu bertemu dengan Hari.
  • Saura: sekte Hinduisme yang memuja Surya sebagai Saguna-brahman. Aliran ini berpangkal dari tradisi Weda kuno. Kini, hanya ada sedikit penganut aliran ini di India.
  • Srauta: golongan brahmana ortodoks yang mengikuti Purwamimamsa, berbeda dengan Wedanta yang diikuti oleh kaum brahmana lainnya. Mereka merupakan penganut tradisi ritual konservatif dan membentuk golongan minoritas di antara umat Hindu di India. Penganut aliran ini biasanya terdapat di negara bagian Kerala (kaum Nambudiri) dan Karnataka (Mattur, Holenarsipur, Sringeri).

Gerakan keagamaan

Pengikut Gerakan Hare Krishna di Rusia menyelenggarakan prosesi Rathayatra pada musim dingin 2011.
Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20, antara lain sebagai berikut:
  • Brahmoisme: gerakan keagamaan yang berasal dari Benggala pada awal abad ke-19. Gerakan ini didirikan oleh Ram Mohan Roy. Beliau menggagas pentingnya pemanfaatan nalar untuk mereformasi praktik sosial dan religius agama Hindu, dengan pengaruh dari agama monoteistis dan ilmu pengetahuan modern.[145] Brahmoisme menolak dogma, takhayul, otoritas kitab suci, dan penggambaran Tuhan.[146]
  • Prarthana Samaj: gerakan reformasi sosial dan keagamaan yang dimulai di Bombay, didirikan oleh Dr. Atmaram Pandurang pada tahun 1867 dengan tujuan agar masyarakat meyakini satu Tuhan dan hanya menyembah satu Tuhan. Gerakan ini dimulai sebagai reformasi sosial dan keagamaan sebagaimana Brahmo Samaj. Perintis Prarthana Samaj di Mumbai adalah Paramahamsa Sabha, perkumpulan rahasia untuk memajukan gagasan-gagasan liberal yang didirikan oleh Ram Balkrishna Jaykar.[147]
  • Arya Samaj: gerakan reformasi Hindu yang diprakarsai oleh Swami Dayananda, dan didirikan pada tanggal 7 April 1875.[148] Gerakan ini bermaksud mengamalkan Weda sebagaimana mestinya, dan mengesampingkan kitab-kitab yang ditulis setelah Weda. Gerakan ini bersifat monoteistis karena tidak mengakui dewa-dewi tertentu,[149] serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana patung atau lukisan.[150][151]
  • Misi Ramakrishna: gerakan filantropis dan sukarela yang diprakarsai oleh murid Ramakrishna, Swami Vivekananda, pada tanggal 1 Mei 1897. Gerakan ini berfokus pada masalah kemanusiaan seperti pemeliharaan kesehatan, bencana alam, kesejahteraan masyarakat desa, pendidikan, dan lain-lain. Misi gerakan ini berdasarkan konsep Karmayoga.[152] Dalil-dalil yang digunakan adalah filsafat Wedanta.[153]
Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah tradisi Waisnawa yang dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga dilaksanakan di beberapa negara dengan jumlah imigran India yang signifikan, seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan Tobago (Amerika Tengah).

Keyakinan

Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.[47] Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).[154]

Konsep ketuhanan

Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme.[155][156][157][158] Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.[159]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[160] Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik semuanya.[161]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[162] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka disebut brahmana.[163] Kadangkala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan, atau Parameswara.[164] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[165] Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.[166] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[167] Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya.[167] Mazhab ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman.[168] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.[169]
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.[170] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui.[171] Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.[172] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.[173]

Pustaka Suci

 !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Susastra Hindu

Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman yang berbeda-beda.[216][217] Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan.[218] Selama berabad-abad, para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di dalamnya.[219] Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.

Sruti

Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regweda dalam foto ini ditulis dengan aksara Dewanagari.
Sruti (artinya "apa yang didengar")[220] terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala,[217][221] sementara umat yang lain tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu meyakini kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi.[216][222] Umat Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.[223]
Ada empat kitab Weda, yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda), dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan).[224] Kumpulan Weda berfokus kepada pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.[219][225][226]

Smerti

Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaan, mitologi, dan cerita tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata, dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran filosofis yang dinarasikan oleh Kresna--sebagai awatara Wisnu--kepada Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.[227] Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadangkala disebut Gitopanishad—seringkali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.[228]
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantiram, Siwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan kitab hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

Sejarah

Periodisasi

James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania.[229][230] Periodisasi ini menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya.[231] Periodisasi lainnya memilah-milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[232] Smart[233] dan Michaels[234] tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood[235] dan Muesse[237][238] mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern.[239]
Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:
  • Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme. Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha Mahayana di India.[241]
  • Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme Asketis",[242] sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.[243]
  • Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200 SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.[244]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar